Kamis, 06 Mei 2010

Aspirin Hambat Kanker Payudara

PENELITIAN terbaru yang melibatkan 4.000 wanita yang didiagnosis menderita kanker payudara menunjukkan, konsumsi aspirin terbukti dapat meningkatkan kelangsungan hidup penderita dan mengurangi kekambuhan.
 
“Sekitar 50 persen wanita penderita kanker payudara yang meminum aspirin, lebih kecil kemungkinan untuk meninggal dibanding yang tidak mengonsumsinya,” kata peneliti utama Dr Michelle Holmes, yang juga profesor epidemiologi di Harvard Medical School dan School of Public Health, Boston, Amerika Serikat, seperti dilansir HealthDay. Penelitian ini dipublikasikan secara online pada 16 Februari lalu dalam Journal of Clinical Oncology.
 
Secara garis besar, terang Holmes, bagi wanita yang mengonsumsi aspirin lebih banyak dalam seminggu akan memiliki harapan hidup lebih tinggi. Ini dilakukan dengan membandingkan pengguna aspirin dan yang tidak. Misalnya penderita dalam masa penyembuhan yang meminum aspirin selama 6–7 hari dalam seminggu, mereka akan memiliki 64 persen pengurangan risiko kematian.
 
Sementara itu, mereka yang mengonsumsi aspirin selama 2–5 hari seminggu–dengan berbagai alasan yang berbeda–bahkan akan mengalami pengurangan risiko kematian hingga 71 persen. Namun, yang paling penting adalah data 50 persen pengurangan risiko secara keseluruhan. Penelitian ini tidak mencakup dosis yang diminum, tetapi hanya waktu penggunaan dalam seminggu.
 
Penggunaan aspirin dengan cara yang sama juga mampu mengurangi risiko kambuhnya kanker payudara. “Bahkan mengejutkannya, ini yang merupakan efek kuat aspirin,” tutur Holmes. Meskipun dia mengakui ini adalah hanya studi dengan cara pengamatan, bukan penetapan secara definitif sebab dan akibat.
 
Bagaimana aspirin dapat mengurangi kekambuhan, Holmes tidak tahu persis. Namun, penelitian terbaru ini sejalan dengan beberapa penelitian sebelumnya. “Kami menghargai betul bahwa kanker adalah penyakit peradangan dan aspirin adalah obat antiradang,” katanya. Para peneliti berspekulasi, aspirin kemungkinan menurunkan hormon estrogen dalam darah atau mencegah penyebaran dini kanker.
 
Untuk studi ini, Holmes dan koleganya mengevaluasi penggunaan aspirin di kalangan perempuan setidaknya satu tahun setelah didiagnosa menderita kanker payudara. Para wanita, didiagnosis dengan stadium 1, 2, atau 3 kanker payudara antara tahun 1976 hingga 2002. Semua wanita ini merupakan peserta program Nurses Health Study.
 
Selama proses penelitian, hingga kematian seorang wanita pada Juni 2006, 341 perempuan meninggal karena kanker payudara dan 400 orang karena kambuh atau penyakit metastasis lainnya. Namun, Holmes menegaskan aspirin tidak akan pernah menjadi obat yang direkomendasikan untuk penyembuhan kanker.
 
Aspirin juga menyebabkan efek samping negatif di sejumlah segi. “Ini (konsumsi aspirin) dapat menyebabkan perdarahan di saluran GI penderita,” tukasnya. Saat ini memang perlu kajian lebih lanjut soal hasil penelitian ini. Namun, lanjut dia, apabila seorang wanita menderita kanker payudara dan minum aspirin karena alasan lain (seperti sakit tulang atau nyeri), dia akan merasa nyaman ketika dia tahu dapat mencegah kanker payudaranya tidak menjadi parah.
 
“Ini adalah studi terbesar khusus penggunaan aspirin dan kekambuhan kanker payudara dan kelangsungan hidup penderita,” kata Eric Jacobs, Direktur Pharmacoepidemiology di American Cancer Society. Penelitian sebelumnya telah menghasilkan temuan yang lebih luas dan tidak spesifik.
 
“Hasil dari studi ini menarik, ada beberapa peringatan penting,” tutur Jacobs. Seperti juga yang dikatakan Holmes, dia mencatat bahwa temuan ini tidak membuktikan sebab dan akibat. “Seperti yang dicatat peneliti studi ini, jangan bicarakan soal aspirin saat kemoterapi karena mungkin terinspirasi oleh keberhasilan penderita kanker yang terus bertahan. Jangan terlalu berharap terlalu tinggi terhadap penggunaan aspirin,” tegas Jacobs.
 
Baik Holmes maupun Jacobs setuju bahwa terlalu dini untuk menyatakan penderita kanker payudara yang bertahan karena minum aspirin, dengan tujuan mengurangi kambuhnya kanker payudara atau menghindari kematian. Menurut mereka, pasien harus berkomunikasi dengan dokter lebih lanjut tentang apa yang terbaik bagi proses pengobatan mereka.
 
Kanker payudara diketahui paling banyak diderita perempuan. Setiap tahun lebih dari 250.000 kasus baru terdiagnosa di Eropa dan lebih dari 175.000 di Amerika Serikat. Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), tahun 2000 diperkirakan 1,2 juta wanita terdiagnosis kanker payudara, dan lebih dari 700.000 di antaranya meninggal dunia.

Di Indonesia sendiri, menurut data Kementerian Kesehatan, kasus kanker payudara pada tahun ini mencapai 8.227 kasus (16,85 persen). Memang menurun dibandingkan pada 2006 lalu yang mencapai 8.327 kasus (19,64 persen). Meski begitu, tumor atau kanker masih merupakan penyebab kematian nomor tujuh di Indonesia dengan presentasi 5,7 persen. Prevalensi tumor atau kanker di Indonesia adalah 4,3 per 1.000 penduduk.
 
Penyebab kanker payudara sendiri sampai saat ini belum diketahui, tetapi ada beberapa faktor risiko yang menyebabkan seorang wanita menjadi lebih mungkin menderita kanker payudara, di antaranya usia di atas 60 tahun, pernah menderita kanker payudara, riwayat keluarga, faktor genetik dan hormonal, menarche (menstruasi pertama) sebelum usia 12 tahun, menopause setelah usia 55 tahun,kehamilan pertama setelah usia 30 tahun atau belum pernah hamil, pemakaian pil KB atau terapi sulih estrogen, obesitas pasca menopause serta alkohol.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar